Konflik Dan Kekerasan Di Papua ; Akar Masalah Dan Strategi Penyelesaiannya
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan sangat beragam. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta jiwa, ratusan suku dan bahasa serta beragamnya agama yang di anut makin menegaskan kekayaan indonesia selain kekayaan sumber daya alamnya. Berbeda dengan negara-negara lain yang hanya mempunyai satu atau dua suku saja di negaranya, Indonesia justru menarik karna mampu menyatukan beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama dalam sebuah bingkai negara kesatuan republik Indonesia.
Beragamnya latar belakang warga negara indonesia di satu sisi tentunya sangat membanggakan. Namun disisi lain keberagaman juga menjadi potensi yang menimbulkan gesekan antar kelompok-kelompok yang berbeda. Perbedaan pemahaman, kultur dan perspektif masyarakat sangat memungkinkan terjadinya hal-hal yang memicu konflik. Seringkali gejala-gejala dan potensi konflik tidak disadari hingga ia meletus menjadi kekerasan yang menimbulkan kerugian pada sekelompok orang. Konflik baru disadari ketika berkembang menjadi kekerasan dan menimbulkan korban.
Terdapat banyak contoh kasus di Indonesia terkait konflik yang berujung pada tindakan-tindakan kekerasan. Misalnya saja konflik horizontal antara masyarakat
Madura dan Dayak di Kalimantan, konflik antar agama di Ambon ataupun seringnya tawuran antar warga yang menelan banyak korban.
Maraknya konflik dan kekerasan yang
terjadi di masyarakat tentu saja mengancam stabilitas keamanan di daerah tersebut.
Tidak stabilnya keamanan didaerah tentu menghambat proses-proses ekonomi,
politik, pendidikan dan sebagainya. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi
ketahanan daerah yang berimplikasi pada ketahanan nasional dari negara.
Terutama jika konflik yang terjadi di daaerah tersebut merupakan konflik
vertical, dimana negara berhadap-hadapan dengan masyarakat. terlebih jika
negara dalam hal ini melakukan kekerasan kepada masyarakat lewat aparatnya. Hal
ini tentu memberikan ruang untuk menguatnya isu disintegrasi bangsa.
Papua merupakan daerah yang sejak
awal berintegrasi ke republik Indonesia selalu mengalami konflik
berkepanjangan. Janji kemerdekaan yang diberikan oleh belanda kepada masyarakat
papua menjadi awal perseteruan antara kaum nasionalis papua dengan kaum
nasionalis Indonesia. Terlebih pada 1 desember 1961 papua sudah diberikan izin
oleh pemerintah belanda untuk mengibarkan bendera serta menentukan lagu
kebangsaannya sendiri. Sehingga setiap satu desember bagi papua dianggap
sebagai hari kemerdekaan. Namun dalam perspektif republic indonesia papua
adalah bagian dari Indonesia yang harus dilepaskan dari kungkungan belanda
sehingga pemerintah indonesia terus memperjuangkan untuk bergabungnya papua ke
Indonesia. Akhir dari perjuangan indonessia adalah bergabungnya papua ke
Indonesia pada tahun 1969 melalui proses PEPERA. Perbedaan persepsi mengenai
keabsahan integrasi papua ke Indonesia lewat penentuan pendapat rakyat (PEPERA)
juga menimbulkan gesekan tajam antara indonesia dengan masyarakat papua. Bagi
kaum nasionalis papua, proses integrasi papua perlu diluruskan karna terdapat
banyak kecurangan. Sementara bagi kaum nasionalis Indonesia proses Integrasi
papua sudah selesai.
Perbedaan pemahaman yang terjadi terus meruncing antara nasionalis papua dan nasionalis Indonesia. Penanganan berbasis militer yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat papua justru menimbulkan banyak korban. Sedikitnya 100.000 jiwa menjadi korban atas konflik berkepanjangan di Papua. Angka tersebut belum termasuk korban dari orang-orang non Papua. Dalih “bahaya” yang diterapkan di daerah papua seolah mengamini terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM dan genocide terhadap ras Melanesia oleh aparat keamanan kepada masyarakat papua. Selain itu isu pengkebirian terhadap budaya Papua makin membuat masyarakat Papua kehilangan respect terhadap pemerintah Indonesia. Operasi Koteka yang dilaksanakan di Wamena pada akhir 70-an pada akhirnya bermuara pada penghinaan identitas masyarakat lokal.
Tulisan ini mencoba mengurai apa saja yang menjadi akar permasalahan konflik di Papua sehingga berkembang menjadi kekerasan yang terjadi baik antara masyarakat papua dengan pihak militer maupun kekerasan antar masyarakat Papua yang menurut penulis berkembang akibat kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Misalnya kebijakan transmigrasi besar-besaran yang menjadi sumber konflik antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli. Selain itu penulis juga mencoba menganalisa kendala apa yang membuat konflik di Papua tidak kunjung usai. Sehingga akhirnya rekomendasi strategi terhadap penanganan konflik Papua bisa menjadi lebih tepat sasaran.
KONFLIK DAN KEKERASAN DALAM TINJAUAN TEORI
Konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Seringkali defenisi dan pemahaman terkait konflik dan kekerasan dipertukarkan atau disamakan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan[3]. Sementara, kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, sosial, atau lingkungan, dan/ atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh[].
Berdasarkan pengertian konflik di atas, ada dua sumbu mendasar dari konflik yaitu unsur perilaku dan sasaran. Sehingga konflik bisa digambarkan sebagai berikut :
SASARAN | |||
PERILAKU
|
PERILAKU
YANG SELARAS
|
TANPA
KONFLIK
|
KONFLIK
LATEN
|
PERILAKU
YANG TIDAK SELARAS
|
KONFLIK
DI PERMUKAAN
|
KONFLIK
TERBUKA
|
- Tanpa konflik, kesan umumnya adalah lebih baik, namun setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin keadaan ini terus berlangsung, mereka harus bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik, perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif
- Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu di angkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif
- Konflik terbuka, adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakanuntuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya
- Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karna kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. [5]
- Konflik separatis, antara pemerintah pusat dengan sekelompok orang yang memperjuangkan kemerdekaannya, yang disebut juga oleh beberapa orang konflik vertikal (tim peneliti LIPI, 2001)
- Konflik komunal, konflik yang pecah antara dua atau tiga kelompok masyarakat karena antagonism atau perseteruan primordial atau warisan sejarah, kadang-kadang berdasarkan ideology atau agama (tim peneliti LIPI, 2001)
- Konflik yang memperebutkan sumberdaya alam (Polkinghorn 2000). Konflik jenis ini biasanya berkaitan dengan kontrol atas sumberdaya hutan atau mineral.
- Saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai
- Suara-suara ketidak sepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi
- Banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas.
- Pencegahan konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras
- Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian
- Pengelolaan konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat
- Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan
- Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif
Konflik laten
|
Konflik dipermukaan
|
Konflik terbuka
|
|
Pencegahan konflik
|
|||
Penyelesaian konflik
|
|||
Pengelolaan konflik
|
|||
Resolusi konflik
|
|||
Transformasi konflik
|
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua bisa dikatakan sangat kompleks. Konflik yang terjadi di Papua hari ini tidak hanya konflik vertical, yaitu konflik antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Namun, konflik yang terjadi di Papua hari ini juga meluas menjadi konflik horizontal seperti konflik antar agama, konflik antar suku, dan konflik yang terjadi antara masyarakat asli dan pendatang. Jika kita merujuk pada jenis konflik seperti yang dikemukan oleh Thung Ju Lan maka konflik yang terjadi di papua dapat di golongkan menjadi ketiganya walaupun akarnya hanya ada pada jenis konflik separatis. Konflik separatisme berkembang menjadi konflik komunal antar suku yang ada, konflik antara penduduk asli dengan pendatang serta konflik antar agama. Kebijakan transmigrasi yang dicanangkan pemerintah indonesia serta diskriminassi terhadap penduduk asli cukup memberi andil besar terhadap berkembangnya konflik komunal di papua disamping konflik separatism yang terus berlangsung. Kehadiran Freeport dan ditemukannya berbagai sumberdaya alam yang melimpah di papua juga menjadi dasar terjadinya konflik perebutan sumberdaya. Terlebih pembangunan Freeport yang berada di atas wilayah adat suku amungme dimana tempat tersebut bagi suku amungme adalah tempat keramat yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Tentu saja selain Freeport nya, hal tersebut juga menjadi pemicu konflik di wilayah sekitar Freeport. Terakhir pembangunan smelter Freeport yang dibangun di atas tanah milik suku kamoro juga mencetuskan konflik baru yang terjadi disana.
Akar permasalahan konflik yang terjadi di papua menurut hasil penelitian lembaga ilmu pengetahuan indonesia (LIPI) yang dituangkan dalam buku papua road map terdiri dari empat permasalahan, yaitu [11]:
Konflik papua menurut LIPI lebih disebabkan oleh perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme indonesia dan nasionalisme papua. Bagi para nasionalis indonesia, papua adalah bagian dari indonesia terlepas dari perbedaan ras dan kebudayaan. Sementara bagi kaum nasionalis papua, ke-papua-an didasarkan pada perbedaan ras antara orang indonesia ras melayu dengan orang papua ras Melanesia. Perbedaan pandangan mengenai ke absahan proses integrasi papua ke Indonesia melalui proses PEPERA juga menjadi penyebab perbedaan tajam konstruksi nasionalisme papua dan nasionalisme indonesia.
Menurut Chauvel (dalam Widjojo, 2009) nasionalisme Papua dibentuk oleh empat faktor utama, diantaranya yaitu :
- Sebagian Papua berbagi kekecewaan sejarah dimana tanah airnya diintegrasikan dengan indonesia
- Elit Papua merasakan sebuah persaingan dengan pejabat-pejabat indonesia yang telah mendominasi pemerintahan sejak periode belanda
- Pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua melanjutkan sense of difference (perasaan berbeda)
- Banyaknya pendatang dari luar Papua yang memperbesar perasaan bahwa orang Papua dimarjinalisasikan
Sebagai implikasi dari konstruksi nasionalisme indonesia yang menganggap papua adalah bagian dari Indonesia maka upaya-upaya untuk tetap mempertahankan papua agar tetap menjadi bagian dari negara indonesia terus dilakukan. Pendekatan militeristik yang digunakan oleh pemerintah meniscayakan upaya untuk mempertahankan NKRI serupa dan sebangun dengan perang melawan musush yang nyata dan bersenjata. Pendekatan keamanan digunakan untuk menumpas kaum nasionalis papua yang oleh kacamata pemerintah dianggap separatis. Akibatnya banyak rakyat sipil papua yang menjadi korban dari kekerasan TNI. Hal ini justru membuat image pemerintahan indonesia di mata rakyat papua semakin buruk, terlebih sejak peristiwa pembunuhan Theys Eluay, ketua presidium dewan papua yang ditemukan tewas dalam mobilnya di perbatasan papua nugini. Sopir theys sampai saat ini belum ditemukan. Theys ditemukan tewas setelah menerima undangan dari Kopassus.
Menurut hasil penelitian LIPI, disparitas ekonomi dan pembangunan antara papua dan daerah-daerah lain di Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict of interest para pendatang di tanah Papua, diskriminasi kebijakan pusat kepada daerah, dan eksploitasi budaya dan SDA Papua. Otsus tidak menjamin terciptanya kesejahteraan dan pembangunan ekonomi untuk rakyat Papua. JIka kita menyimak data BPS Papua 2006, pertumbuhan ekonomi sebelum otsus pada tahun 1995, 1996, 1997, 1998 mencapai 20,18 %, 13,87%, 7,42%, dan 12,72%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi setelah otsus justru mengalami penurunan yang cukup signifikan, dimana implementasinya bahkan ada yang hanya mencapai 0,53% saja.
Pada tahun 2003, di kota-kota provinsi dan kabupaten para pendatang menguasai sekitar 90% perekonomian, perdagangan, tenaga kerja, transportasi, kantor-kantor swasta, dan bisnis lainnya[13]. Hal ini sangat jelas berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat asli Papua di wilayah tersebut. Itulah sebabnya bagi masyarakat Papua, wacana pembangunan tidak lebih dari bentuk diskriminasi dan marginalisasi penduduk asli Papua serta upaya mengenalkan kapitalisme yang bermuara pada eksploitasi sumberdaya alam Papua.
Jumlah orang asli papua yang mengalami penurunan akibat kekerasan yang dilakukan aparat terhadap penduduk asli papua dengan dalih keamanan. Sementara di sisi lain jumlah pendatang semakin banyak. Jika pada tahun 1959 jumlah pendatang masih kurang dari 2% namun pada tahun 2005 jumlah pendatang di tannah papua sudah mencapai 43%. Dan bukan tidak mungkin penduduk asli papua menjadi minoritas di tanah airnya sendiri. Terlebih ekspresi budaya mereka selalu dicurigai terkait dengan praktik politik separatisme.
Aktor-aktor yang terlibat dalam konflik Papua dapat dibedakan dalam dua kutub yaitu kutub merah untuk yang pro Papua merdeka dan kutub biru untuk yang pro- NKRI. Mabes TNI membuat pemetaan aktor-aktor dalam konflik Papua menjadi empat kelompok sebagai berikut : matoa merah, matoa merah muda, matoa biru muda dan matoa biru[14]. Sementara LIPI membaginya menjadi kelompok aktor dalam konflik Papua menjadi 5 kategori yaitu merah sekali (MS) merah muda (MM), merah-biru (MB), biru muda (BM) dan biru sekali (BS)[15]. Dari ketiga kelompok tersebut, pelaku-pelaku utama yang terlihat signifikan dalam perjuangan politiknya di tanah papua dapat disederhanakan menjadi pemerintah pusat, TNI, POLRI, OPM (operasi papua merdeka), PDP (presidiumdewan papua), DAP (dewan adat papua), gereja-gereja dan lebaga keagamaan, LSM, ormas dan kelompok-kelompok suku di papua[16]. Berikut keterangan terkait kelompok yang terlibat dalam konflik serta kepentingan yang dibawa :
Konflik di Papua berdasarkan tipologinya dapat dikategorikan sebagai konflik terbuka. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi di Papua bukan sekedar konflik yang muncul tiba-tiba namun memiliki akar yang jauh jika kita tarik kebelakang, yaitu pada proses integrasi papua ke indonesia atau pada janji masyarakat belanda untuk kemerdekaan bagi rakyat Papua. Munculnya perlawanan terhadap keputusan integrasi Papua ke Indonesia baik perlawanan secara politik maupun yang berujung pada kekerasan semakin meneguhkan bahwa konflik di Papua termasuk dalam tipologi konflik terbuka.
Berdasarkan teori pendekatan dalam mengelola konflik, maka untuk mengelola konflik terbuka ada tiga pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan penyelesaian konflik, pendekatan resolusi konflik dan pendekatan transformasi konflik. Untuk konflik terbuka, maka langkah pertama yang harus dilakuakan adalah penyelesaian konflik guna mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian. Hingga hari ini belum ada titik temu antara kaum nasionalis papua dan kaum nasionalis indonessia dalam membicarakan perdamaian papua. Walaupun di sebagian daerah kekerasan tidak lagi muncul namun di daerah tersebut konflik latennya masih ada karna akar permasalahannya tidak diselesaikan.
Dialog Papua-Jakarta yang di gagas dan di suarakan hingga hari ini belum ada implementasinya. Sehingga konflik dan kekerasan masih terjadi di tanah papua. Terutama kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap orang-orang yang disinyalir separatis. Bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat papua adalah dengan melaksanakan operasi-operasi militer. Target pemerintah menyelesaikan kekerasan yang terjadi lewat operasi militer justru berbuah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI. Maka dalam penyelesaian konflik papua yang notabene masuk dalam kategori konflik terbuka hendaknya dilakukan melalui proses dialog dengan melibatkan semua aktor-aktor yang terlibat dalam konflik papua. Dengan proses dialog yang dilakukan maka akar permasalahan dan konflik yang ada tidak berkembang menjadi kekerasan.
Pendekatan kedua yang dapat dilakukan adalah pendekatan resolusi konflik. Pendekatan resolusi konflik dilakukan untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Pendekatan resolusi konflik dilakukan ketika kekerasan yang terjadi di papua dapat diselesaikan. Jika pendekatan penyelesaian konflik sudah dilakukan, maka proses membangun hubungan baru antara aktor dalam konflik. Indonesia dalam hal ini menangani konflik papua lewat kebijakan sebagai instrument resolusi konflik. Namun terdapat ketimpangan atau perbedaan perlakuan dan kebijakan oleh pemerintah dalam menangani konflik di papua dan aceh. Kebijakan pemerintah sebagai instrument resolusi konflik dimuat dalam buku oase gagasan papua damai, dapat dilihat dalam table berikut[17]:
Rezim politik
|
Instrument untuk aceh
|
Instrument untuk papua
|
BJ Habibie
21 Mei 1998-20 Oktober 1999
|
UU no 44/1999 tentang status
keistimewaan Aceh
|
UU no 45/1999 tentang provinsi Irian Jaya Tengah dan Barat
|
Abdurrahman Wahid
20 Oktober 1999-23 Juli 2001
|
Perundingan jeda kemanusiaan
(2000)
Pembahasan RUU tentang Otsus Aceh
|
Pembahasan RUU tentang otsus Papua
|
Megawati
23 juli 2001- 20 oktober 2004
|
· Perundingan CoHA (2002)
· UU no 18/2001 tentang otsus Aceh
|
UU no 21/2001 tentang otsus Papua
|
Susilo bambang yudhoyono I
20 Oktober 2004-20 Oktober 2009
|
Perundingan Helsinki (2005) UU no 11/2006 tentang otsus Aceh
|
UU no 24/2007 tentang perubahan nama
Irjabar menjadi Papua Barat
|
Susilo Bambang Yudhoyono II
20 Oktober 2009-20 Oktober 2014
|
· Perpres no 65/2011 tentang
percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B)
· Perpres no 66/2011 tentang unit
percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)
|
Komentar
Posting Komentar